Discourse Subaltern dalam Masyarakat Interkultural: Mencermati Relasi Gender Jilbab dan Perempuan Berjilbab di Prancis



Relasi gender dan Perempuan Berjilbab di Prancis, Revolusi Prancis pada tahun 1789 dengan slogannya Liberté (kebebasan), Egalité (kesetaraan), Fraternité (persaudaraan), membawa perubahan yang signifikan dalam konstelasi sosiologis dan kultural Prancis secara historis maupun kontekstual. Revolusi tersebut memberi makna baru terkait hak-hak kewarganegaraan secara lebih konstitusional, yang menginspirasi banyak negara, bahkan sampai beberapa abad kemudian. Slogan tersebut mengubah pola hubungan kemasyarakatan dan budaya dari yang bersifat feudal aristokratik dan gerejawi, menjadi bersifat hubungan kelas, yakni borjuis dan proletar. Ada berbagai respon pro dan kontra terhadap transformasi sosiologis dan cultural tersebut, akan tetapi Revolusi Prancis cenderung menjadi masukan positif bagi wajah demokrasi negara tersebut pada masa-masa sesudahnya.

Pada masa Perang Dunia kedua, gerakan-gerakan anti Yahudi menyeret Prancis dalam segregasi yang lebih bersifsat etnis. Dalam bukunya, le Deuxième Sexe atau the Second Sex, Simone de Beauvoir (1976) secara tidak langsung menjelaskan bahwa segregasi yang dilakukan oleh dominan maskulin menempatkan perempuan sejajar dengan orang hitam dan orang Yahudi. Kegeraman Simone de Beavoir ini di satu sisi merupakan keinginan agar perempuan disejajarkan dengan laki-laki. Akan tetapi di sisi mengiyakan secara pribadi bahwa dalam konteks masyarakat Prancis yang menjadi the second sex bukan hanya kaum perempuan, tetapi juga orang-orang hitam dan Yahudi.

Secara kultural ideologis, Prancis tidak mengakui keberadaan multikulturalisme. Multikulturalisme dianggap sebagai usaha memberi ruang kepada yang berbeda-beda dalam satu standar yang sama. Hal ini dianggap mereduksi keberadaan kultur asli, yaitu kultur Prancis itu sendiri.

Identitas Eropa yang berkonsentrasi ingin membangun persoalan identitas, salah satunya adalah dengan jilbab. Jilbab dan pemakai jilbab menjadi subaltern-subaltern baru dalam konteks relasi sosial gender, dan yang menjadi menarik adalah bagaimana para subaltern diposisikan dalam discourse sosio-politik serta kultural ideologis Prancis oleh berbagai aktor sosial dan politik di negeri tersebut. Bagaimana diskursus mengenai jilbab dilihat dari perspektif mereka yang bukan di lingkungan pemerintah, yaitu individu atau kelompok masyarakat umum.

Masyarakat diluar pemerintah, yang muslim memiliki argumen jika kepentingan masyarakat lebih luas, meskipun kepentingan kelompok Muslim dengan persoalan sejarah dan identitas mereka menjadi fokus dalam pembicaraan dan tuntutan. Sementara, diskursus masyarakat dari kubu lain juga melihat kepentingan masyarakat luas dengan perspektif yang berbeda, yaitu discourse kepentingan umum dan kebebasan beragama yang masih memunculkan hegemoni laicité.

Perempuan berjilbab bersifat defensive terhadap label yang seringkali diarahkan kepada mereka, yaitu sebagai subaltern dalam konteks Prancis. Pemosisian ini dilakukan dengan cara berbeda-beda, baik secara individual dengan memunculkan penolakan dan resistensi terhadap labelisasi subaltern bagi mereka, maupun secara militant lewat keterlibatan mereka dalam partai politik. Discourse “subyek religious” menjadi penting bagi para perempuan berhijab ini yang merupakan cara lain untuk memandang perbedaan dalam melihat dunia.

Achmad Migy Pratama Wicaksono
Achmad Migy Pratama Wicaksono Saya seorang amatiran yang sotoy tapi baik

No comments for "Discourse Subaltern dalam Masyarakat Interkultural: Mencermati Relasi Gender Jilbab dan Perempuan Berjilbab di Prancis"