Efek Westermark di Kibbutz

Efek
Westermark di Kibbutz
Kasus
kedua yang digunakan untuk mengkionfirmasi teori Westermark adalah
menyangkut sebuah dugaan kurangnya minat seksual antara anak laki –
laki dan perempuan yang menghadiri kelas yang sama dari Taman Kanak
Kanak hingga berumur 6 tahun di masyarakat kooperatif yang dikenal
dengan nama Kibbutz. Diduga anak laki – laki dan perempuan begitu
“dimatikan” secara menyeluruh di kalangan pernikahan kontrak
orang-orang yang dibesarkan di sebuah kibbutz, tidak satu orang pun
baik laki – laki dan perempuan yang dibesarkan bersama-sama dari
lahir sampai usia 6 tahun (Shepher 1983). Hal tersebut tampaknya
mengesankan, tapi antropolog John Hartung telah menemukan sebuah
kekurangan fatal dalam statistik. Dari total 2516 pernikahan. 200
pernikahan terjadi di antara pasangan yang dibesarkan di kibbutz
yang sama meskipun tak satu pun dari mereka yang menghadiri kelas
yang sama selama 6 tahun sekolah mereka. Oleh karena semua kaum muda
kibbutz dilantik masuk militer dan kemudian bercampur dengan puluhan
ribu orang lainnya diluar kibbutz mereka sebelum menikah, kelangkaan
200 pernikahan dari dalam kibbutz yang sama adalah kebetulan yang
jauh lebih daripada yang dapat diharapkan.
Pasti
ada pertanyaan, dari 200 pernikahan yang terjadi dalam kibbuta yang
sama. Apakah ada kemungkinan diantara seorang laki – laki dan
perempuan tersebut yang tidak masuk (menghadiri) kelas yang sama ?
Dalam tradisi keluarga Yahudi, pada umumnya perempuan memiliki usia 3
tahun lebih muda dari laki – laki yang dinikahinya, kemungkinan
kecil sekali terjadi pernikahan antara laki – laki dan perempuan
yang menghadiri kelas yang sama. Hartung mengemukakan bahwa telah
terjadi 5 pernikahan antara laki – laki dan perempuan yang
dibesarkan bersama – sama dalam fase 6 tahun pertama kehidupan
merek (Fig 16.11) Sejak teori Westermark tidak memprediksi waktu yang
diperlukan untuk mengasuh laki – laki dan perempuan untuk
menghilangkan ketertarikan diantara mereka (terhadap lawan jenisnya),
5 pernikahan yang terjadi ini sebenarnya melemahkan teori Westermark
(Hartung 1985).
Usul
bahwa keengganan naluri seksual yang terjadi dalam keluarga inti juga
bertentangan dengan bukti daya tarik seksual yang kuat antara ayah
dan anak perempuan dan antara ibu dan anak laki - laki. Psikoanalis
Freudian menunjukkan bahwa anak – anak dan orang tua yang
berlawanan jenis kelamin memiliki hasrat yang kuat dalam berhubungan
sexual. Sesungguhnya, kasus hubungan ayah-anak. setidaknya, merupakan
kehendak yang dilakukan lebih sering daripada yang diketahui secara
umum . Misalnya, pekerja sosial memperkirakan bahwa puluhan ribu
kasus inses terjadi di Amerika Serikat setiap tahunnya, yang sebagian
besar melibatkan ayah memaksakan kehendak pada anak perempuan muda
(Cicchetti dan Carlson 1989; Glaser dan Frosh 1988).
Pada
akhirnya, teori tentang naluri penghindaran inses
sulit diterima dengan terjadinya meluasnya
praktek endogamous yang dilakukan secara bersamaan dan juga
dengan adanya praktek pendukunan terhadap
pengaturan exogamic. Anggota keluarga besar exogamous, misalnya,
sering terlibat dalam sistem pernikahan yang mendorong mereka untuk
menikah dengan sepupu pertamanya
(sepupu silang) namun tidak dengan yang lain. (Parallel
Cousin; see p.264). Perbedaan antara kedua bentuk perkawinan sedarah
tidak dapat dijelaskan secara memuaskan oleh seleksi alam (cf.
Alexander 1977). Selain itu, kecenderungan secara luas untuk berbagai
bentuk perkawinan sepupu sendiri berbobot bertentangan dengan
kesimpulan bahwa eksogami mengekspresikan naluri yang terbentuk oleh
efek berbahaya dari perkawinan sedarah (cf. Bittles et al. 1991).
Kemungkinan
untuk menghindari inses secara genetik
telah diprogram dalam Homo sapiens telah menerima
beberapa dukungan dari studi bidang monyet dan kera perilaku kawin.
Ayah-anak perempuan, ibu-anak
laki-laki, dan saudara-saudara perempuan
perkawinan jarang terjadi di antara kerabat terdekat hewan
tersebut,namun ada juga yang
terjadi. Menghindari seks antara pasangan yang
berkaitan erat dapat dijelaskan dalam hal
pola dominasi jenis kelamin dan usia dan persaingan seksual. Di alam
liar, ada llebih banyak kasus dari kelompok
endogami yang melibatkan perkawinan antara primata
yang saling erat hubungannya daripada
perkawinan exogamous, dan tidak ada bukti eksperimental menunjukkan
keengganan untuk inses semata antara monyet
dan kera (Leavitt 1990). Selain itu, bahkan jika keengganan naluriah
tersebut ditemukan ada di antara primata bukan manusia, signifikansi
untuk sifat manusia akan meragukan. Setelah semua, tidak hanya
pasangan bisa dipertukarkan antara kelompok manusia, tetapi juga
dalam pengertian luas dari barang dan
jasa. Apakah kita harus percaya bahwa manusia secara naluriah
menghindari menjaga makanan, peralatan, dan tenaga kerja dalam
keluarga inti?
Manfaat
Eksogami dari Segi Sosial dan Budaya
Keluarga
inti yang menghindari inses dan bentuk lain dari eksogami antara
kelompok-kelompok rumah tangga yang bisa dijelaskan cukup efektif
dalam hal demografi, keuntungan ekonomi, dan ekologi (Leavitt 1989).
Keuntungan ini belum tentu sama untuk semua masyarakat. Misalnya,
kelompok masyarakat yang mengandalkan jasa bursa pernikahan untuk
membentuk jaringan dengan masyarakat yang lain. Kelompok yang
terbentuk dari unit pembibitan sepenuhnya dekat akan ditolak
fleksibilitas mobilitas dan teritorial penting untuk strategi
subsistensi mereka (bingung artikan). Teritorial terbatas, Kelompok
endogamous yang terdiri dari 20 sampai 30 orang juga akan diancam
oleh resiko kepunahan yang cukup tinggi sebagai akibat dari
ketidakseimbangan jenis kelamin yang disebabkan oleh kesialan
kelahiran laki-laki dan kematian perempuan dewasa, yang akan
menempatkan beban pada reproduksi kelompok dalam satu atau dua
perempuan dewasa. Eksogami demikian penting jika populasi kecil
adalah untuk secara efektif memanfaatkan potensi produktif dan
reproduktif. Setelah kelompok mulai mendapatkan teman dari kelompok
lain, prevalensi timbal balik pertukaran menuntut counterflow dari
pasangan dan hal – hal (nilai – nilai) lainnya. Penerima harus
menjadi pemberi. Tabu pada ibu-anak laki-laki, ayah-anak perempuan,
dan saudara laki – laki -saudara perempuan menikah karena itu dapat
ditafsirkan sebagai pembelaan dari hubungan timbal balik terhadap
godaan yang selalu ada bagi orang tua untuk menjaga anak-anak mereka
untuk diri sendiri atau untuk saudara-saudaranya untuk saling menjaga
satu sama lain.
Faktor
lain yang mendukung eksogami keluarga inti adalah lembaga pernikahan
itu sendiri. Pernikahan Sebagian besar (meskipun pengecualian yang
telah dibahas sebelumnya, seperti Nayar tersebut) membatasi kebebasan
seksual dari mitra pernikahan. Dengan demikian sebagian besar
masyarakat melarang satu atau kedua dari pasangan
yang melakukan hubungan seks di luar nikah
- yaitu, dari terjadinya tindak perzinahan. Hubungan seksual
terlarang antara ayah dan anak perempuan atau
ibu dan anak laki - laki merupakan suatu
bentuk perzinahan. Ibu-anak laki-laki inses
adalah anak yang merupakan bentuk perzinahan. Ibu-anak inses adalah
berbagai terutama mengancam perzinahan di banyak masyarakat yang
memiliki institusi yang kuat supremasi laki-laki. Tidak hanya istri
"double-dealing" terhadap suaminya tapi anak adalah
"double-dealing" terhadap ayahnya. Hal ini mungkin
menjelaskan mengapa yang paling umum dan emik yang paling ditakuti
dan dibenci dalam bentuk inses adalah bahwa
antara ibu dan anak laki - laki. Oleh
karena itu, ayah-anak perempuan inses akan
agak lebih umum sejak suami menikmati standar ganda perilaku seksual
lebih sering daripada istri yang lebih rentan terhadap hukuman
atas tindak perzinahan.
Setelah
evolusi negara, aliansi exogamic antara kelompok rumah tangga terus
memiliki konsekuensi instructural penting. Di antara petani, eksogami
meningkatkan jumlah kelompok saling menikah produktif dan reproduksi.
Perizinan pemanfaatan sumber daya daerah
yang lebih luas dari keluarga inti atau diperpanjang untuk
bisa mengelola secara individual, memfasilitasi
dan meningkatkan batas atas ukuran kelompok yang dibentuk untuk
melaksanakan kegiatan musiman yang
membutuhkan input tenaga kerja besar. Selanjutnya, perang
antarkelompok merupakan ancaman kelangsungan hidup kelompok,
kemampuan untuk memobilisasi sejumlah besar prajurit adalah
diperlukan. Oleh karena itu, dalam militer,
laki – laki merupakan pusat perhatian di wilayah yang
mengalami perang , saudara perempuan dan anak
perempuan sering digunakan sebagai pion dalam pembentukan aliansi.
Aliansi ini tidak selalu menghilangkan peperangan antara kelompok
kawin campur, tetapi mereka membuatnya kurang umum, seperti yang
diharapkan dari kehadiran saudara perempuan dan anak perempuan di
jajaran musuh (Kang 1979; Podolefsky 1984; Tefft 1975).
Dalam
kebudayaan yang didalamnya terdapat system kelas dan kasta, endogami
sering dipadukan dengan keluarga besar eksogami untuk menjaga
kesehatan, ketahan tubuh dan juga kekuatan dalam memimpin keluarga
tersebut. Tercatat bahwa keluarga inti cenderung mungkin menjadi
keluarga endogamus ketika terdapat perhatian berlebih terhadap
politik, ekonomi dan kekuatan militer. Keluarga besar kemungkinan
akan digantikan oleh keluarga inti untuk menghindari kemungkinan
terjadinya incest. Beberapa antropolog memprediksikan bahwa larangan
incest dalam keluarga inti nantinya akan menghilang karena
negara-negara modern memiliki begitu banyak cara alternatif membangun
hubungan antarkelompok, seperti pasar harga dan wajib pendidikan umum
universal (Leavitt 1989). Namun pengetahuan ilmiah mengenai incest
keluarga inti secara genetik pada populasi berisiko membawa beban
berat gen resesif yang berbahaya, pencabutan undang-undang anti inses
tampaknya tidak mungkin dan tidak bijaksana.
Pernikahan
Istimewa
Terjadinya
tindakan eksogami secara luas menunjukkan bahwa kelompok rumah tangga
secara bersama harus dilindungi oleh aturan yang menetapkan siapa
yang akan menikahi siapa. Setelah menikahi seorang perempuan, laki –
laki dari sebagian besar kelompok masyarakat mengharapkan timbale
balik materi dari pernikahan tersebut. Misalnya, terdapat dua
kelompok masyarakat A dan B, bila A memberikan seorang perempuan
kepada B, maka B akan member seorang perempuan juga kepada B sebagai
balasan (timbal balik). Balasan yang diberikan seringkali adalah
saudara perempuan dari pengantin pria dari kelompok masyarakat
tersebut. Namun balasan (timbal balik) tersebut tidak juga selalu
dalam bentuk seperti itu.
No comments for "Efek Westermark di Kibbutz"
Post a Comment