Eskalasi di Poso

Tulisan
ini membahas berbagai konflik yang telah bereskalasi dari pertikaian
lokal menjadi sebuah masalah internasional. Konflik-konflik tersebut
bereskalasi karena alasan-alasan yang bisa diterangkan, karena makin
banyak orang yang memutuskan untuk terlibat. Dynamics
of Contention menggunakan
istilah pergeseran skala (upward)
scale shift dan
mendefinisikannya sebagai sebuah proses meningkatnya jumlah dan
tingkatan tindakan-tindakan perseteruan yang terkoordinasi, sehingga
mengakibatkan perseteruan menjadi lebih besar dan melibatkan
aktor-aktor untuk menjembatani berbagai klaim dengan identitas
mereka. Dalam bab “Eskalasi di Poso” ini kita ingin mengetahui
lewat jalan mana sebuah pertengkaran remaja mabuk di pinggiran kota
mengembang menjadi sebuah perang besar dan melibatkan aktor-aktor,
sampai akhirnya pemerintah AS juga ikut memberikan perhatian.
Poso
adalah sebuah kabupaten di provinsi Sulawesi Tengah. Pertanian adalah
tulang punggung ekonominya. Hasil pertanian mencapai sekitar separuh
dari produk domestik bruto di kabupaten manapun di Sulawesi Tengah,
kecuali di ibukota provinsi, yakni Palu dimana hasil pertaniannya
lebih sedikit. Di zaman penjajahan, Poso terkenal sebagai salah satu
ladang misi Kristen paling sukses di Hindia Belanda, para misionaris
Protestan Belanda yakni Kruyt dan Adriani tiba disana pada tahun
1892. Pemerintahan modern secara kontinyu meningkatkan kedudukannya
sepanjang abad ke-20. Di bawah Orde Baru, laju penetrasi negara
menjadi semakin cepat. Sekarang ekonomi urban berjalan di atas dua
kaki: perdagangan dan sektor pemerintahan. Di kabupaten Poso, uang
pemerintah bahkan lebih penting daripada perdagangan, mencapai lebih
dari 20% produk domestik bruto non-pertanian di kabupaten.
Satu-satunya kabupaten dimana perdagangan secara signifikan lebih
tinggi daripada uang pemerintah adalah Kepulauan Banggai di timur dan
Buol di utara. Itu adalah kabupaten paling kecil dan paling terpencil
di provinsi tersebut. Jelas terlihat disini bahwa uang pemerintah
penting bagi penghidupan orang-orang kota di Sulawesi Tengah.
Di
masa Orde Baru, pembangunan yang disponsori oleh negara mengubah
lanskap di sekitar Poso. Jalan Raya Trans-Sulawesi dibangun secara
bertahap, dan dirampungkan pada awal 1990-an, dan menghubungkan Palu
dengan Palopo. Jalan itu melewati kota Poso, dan menembus jantung
wilayah Kristen Danau Poso ke selatan. Pada akhir Orde Baru,
kabupaten Poso mempunyai proporsi pendatang tertingi di provinsi
tersebut. Hampir seperempat dari populasi berasal dari daerah lain,
sementara 17% diantaranya sudah lebih dari lima tahun berada disana.
Para pendatang menguasai tanah yang oleh orang-orang lokal (menurut
adat) dianggap sebagai milik mereka, namun oleh hukum formal dianggap
sebagai tanah menganggur. Tanaman dagangan yang terutama ditanam oleh
pendatang, dan juga diikuti oleh orang-orang lokal mulai menggantikan
pertanian subsisten. Semakin banyak uang yang beredar di pedesaan,
yang merangsang mobilitas sosial dan mempersempit kesenjangan yang
dulu membedakan antara pedesaan dan perkotaan. Transmigrasi juga
membuahkan pergeseran ke arah Muslim, orang-orang Kristen tidak
pernah menjadi mayoritas di kabupaten manapun di Sulawesi Tengah,
karena itu transmigrasi tidak mengakibatkan pergeseran dramatis dari
mayoritas ke minoritas, sebagaimana terjadi di Ambon.
Selain
pergeseran sosial secara bertahap di atas, yang lebih merisaukan
yakni perubahan-perubahan politis setelah Presiden Soeharto
mengundurkan diri. Pemerintah lokal di Sulawesi Tengah sangat
militeristis. Sulawesi diporak-porandakan oleh sebuah pemberontakan
berdarah di akhir 1950-an. Persepsi bahwa ini adalah daerah yang
tidak stabil membuat Orde Baru menempatkan perwira-perwira militer di
semua posisi kunci di Sulawesi Tengah, seperti gubernur, bupati, dan
ketua DPRD. Bupati tetap pertama yang berasal dari orang sipil pada
tahun 1990 merupakan orang tunjukan gubernur di Palu, bukan pilihan
orang-orang Poso setempat. Tetapi pada masa jabatan keduanya
mendekati akhir dan orang-orang mulai memikirkan penggantinya,
demokrasi telah tiba di Indonesia. Sejak itu, rakyat lah yang akan
menentukan siapa yang menjadi bupati, bukan lagi gubernur. Setiap
orang tahu bahwa peraturan-peraturan telah berubah, namun tak seorang
pun tahu persis peraturan-peraturan barunya seperti apa.
Komposisi
religius Poso yang kurang lebih berimbang membuat perang agama
tinggal menunggu waktu. Secara numerik, orang-orang Muslim yang naik
daun semakin menantang para elit Kristen hasil didikan misi sejak
awal 1980-an untuk berebut posisi-posisi paling berpengaruh di
kabupaten itu. Keluhan yang paling serius di pedesaan, luar kota Poso
bukanlah bersifat religius, namun ekonomis. Para petani gurem
pegunungan dengan cepat kehilangan tanah ulayat mereka yang jatuh ke
para petani perdagangan yang berjiwa wiraswasta tinggi. Cokelat,
tanaman ekspor sudah mengalami boom
selama satu dekade ketika krisis
moneter 1998 membuat harga biji cokelat melonjak tinggi. Ketika hal
itu terjadi, banyak orang baru yang terjun ke bisnis itu. Tak lama
kemudian, kebun-kebun cokelat memenuhi sisi-sisi bukit sepanjang
jalan baru yang menghubungkan Poso dengan Palu.
Tania
Li (2002) telah menunjukkan bagaimana cokelat tengah menciptakan
kelas-kelas petani kaya dan petani miskin. Beberapa petani kaya
adalah orang-orang lokal yang mampu beradaptasi, yang lain adalah
wiraswasta luar yang datang belakangan dan berhasil menguasai tanah.
Yang menonjol di antara orang-orang yang disebutkan belakangan ini
adalah transmigran etnis Bugis di Sulawesi Selatan. Orang-orang
miskin lokal lebih terbebani hutang, dan seringkali tidak mempunyai
tanah untuk diwariskan pada anak-anak mereka. Kadang-kadang boom
cokelat yang tidak merata itu
membuahkan kekerasan. Tidak jauh dari Poso, yakni di Luwu, Sulawesi
Selatan, keluhan-keluhan mengenai keuntungan-keuntungan yang tidak
merata bagi petani kecil itu memainkan peranan penting dalam
pertikaian-pertikaian lokal yang berulang kali terjadi. Para
pendatang yang datang bermukim dan kemudian berusaha menjadi kekuatan
dominan atas wilayah yang oleh orang-orang lokal dianggap sebagai
“tanah tumpah darah” mereka telah menyebabkan banyak kegusaran di
seluruh Indonesia. Karena itulah pada tahun 1998 Banak Dunia
menghentikan pendanaan transmigrasi baru. Aditjondro (2004)
menyimpulkan bahwa “paradigma” konflik itu menyangkut
marjinalisasi penduduk asli Poso, bukan agama.
No comments for "Eskalasi di Poso"
Post a Comment