Feminisme dan Antropologi : Asal-usul Hubungan Keduanya



Sebagai ilmu yang mempelajari tentang segala aspek kehidupan manusia, antropologi mencoba untuk memperhatikan segala isu-isu sosial yang bermunculan dalam lingkungan sosial manusia. Tidak hanya mempelajari tentang hubungan kekerabatan dan perkawinan saja, seiring dengan perkembangannya, antropologi mencoba menggali lebih dalam tentang isu-isu gender yang semakin marak akhir-akhir ini. Dalam beberapa penelitian yang dilakukan oleh para antropolog, muncul berbagai pandangan mengenai perempuan di berbagai wilayah. Dalam hal ini, perempuan sering kali dipandang sebelah mata oleh para pria, sehingga memunculkan berbagai anggapan yang kemudian ditulis oleh para etnograf pada hasil penelitian mereka. Adanya anggapan tersebut, membuat beberapa ahli antropologi yang fokus pada isu gender khususnya feminisme mulai mendekonstruksi pandangan dan tanggapan para etnograf dalam memandang perempuan. Para ahli antropologi feminis memandang bahwa posisi seorang perempuan dalam penelitian, bukan berada di tahap empirik melainkan berada di titik analisa dan teori. Maksud dari anggapan tersebut adalah bahwa untuk mengatasi masalah-masalah mengenai “perempuan”, tidak bisa diselesaikan jika hanya melibatkan perempuan dalam penelitian seperti yang dilakukan oleh beberapa ahli antropologi selama ini.

Seorang pemerhati perempuan yang bernama Edwin Ardener mengatakan, bahwa perempuan adalah “kelompok yang bungkam”, maksud dari pernyataan tersebut adalah perempuan tidak diberikan hak yang begitu luas untuk mengeluarkan ekspresi mereka. Sebagai kelompok subordinat, perempuan harus menyesuaikan dengan kelompok yang menguasai atau mayoritas (laki-laki) jika mereka ingin berekspresi layaknya kaum pria. Karena itulah mengapa Ardener menganggap bahwa perempuan adalah “kelompok yang bungkam”. Bungkam dalam hal ini merujuk ke berbagai aspek, termasuk bungkam terhadap ideologi yang mereka miliki. Adanya ruang yang lebih luas bagi kaum pria dalam mengeluarkan pendapatnya, menimbulkan pandangan bahwa apa yang dikatakan oleh pria dan apa yang sudah menjadi pandangan seorang pria, otomatis menjadi pandangan semua masyarakat yang berada di lingkungan tersebut. Hal tersebut semakin menyudutkan peran perempuan dalam masyarakat, bukan hanya dibungkam, pendapat seorang perempuan juga tidak akan didengar oleh masyarakat. Hal tersebut membuat para antropologi feminis mencoba untuk melihat masyarakat melalui cara pandang perempuan, karena adanya ketidak adilan yang diterima oleh kaum perempuan juga berdampak pada munculnya anggapan bahwa antropolog pria lebih baik dari antropolog wanita.

Munculnya pandangan yang menganggap bahwa antropolog laki-laki lebih baik dari antropolog perempuan membuat beberapa ahli etnografi perempuan lebih memilih untuk mempelajari kaum mereka sendiri, sehingga memunculkan pernyataan “wanita mempelajari wanita”. Hal tersebut memunculkan argumen bahwa para antropologi feminis akan menjadi sub-disiplin ilmu yang berdiri sendiri. Hal ini dianggap oleh sebagian para ahli sebagai “ghettoisasi”, namun beberapa ahli justru memandang hal tersebut sebagai marjinalisasi terhadap kaum perempuan. Antropologi feminis tidak hanya sekedar wanita mempelajari wanita, karena di dalam gender, antropolog feminis juga mencoba menjelaskan bagaimana sejarah, ideologi dan peran gender dalam membentuk hubungan masyarakat. Seorang perempuan memang dianggap memiliki kekhususan budaya dan sejarah oleh para etnograf, karena itulah para etnograf menganggap perempuan sebagai informan yang lebih tahu mengenai perkawinan, keluarga dan rumah tangga. Aspek yang terpenting dalam masyarakat adalah aspek sosial yang membentuk masyarakat itu sendiri, bukan aspek biologis yang membedakan seorang perempuan dan laki-laki.

Selain membahas tentang bagaimana perempuan dipandang oleh masyarakatnya, dalam artikel ini penulis juga mencoba menghubungkan isu “Etnosentrisme dan Rasisme” dalam memandang isu-isu gender saat ini. Adanya dominasi Barat yang terkandung dalam berbagai konsep pemikiran dalam ilmu antropologi, membuat para etnograf kulit hitam juga melakukan aksi perlawanan terhadap etnograf yang lain. Hal ini diakibatkan karena para antropolog kulit putih sering memandang masyarakat dari kaca mata Barat sehingga menimbulkan perlawanan dari antropolog kulit hitam. Perlawanan tersebut dikritik oleh antropolog yang lain dengan menyatakan bahwa seseorang yang berasal dari Barat bukan berarti mereka adalah kulit putih, sehingga kulit putih tidak bisa diidentikkan dengan kebudayaan Barat. Adanya perbedaan dalam sistem budaya yang terkandung dalam kehidupan masyarakat jangan dijadikan sebagai jurang pemisah dengan sistem kebudayaan yang lain, adanya perbedaan tersebut justru harus menjadi kekayaan dan keberagaman budaya.

Antropologi Feminis dan Apa Perbedaan yang Dibuatnya?
Antropologi feminis tidaklah sama dengan ‘antropologi gender’, antropologi feminis harus didefinisikan sebagai pengkajian tentang hubungan gender, bukan wanita. Persoalannya disini adalah mengenai terminologi, ketika antropologi feminis tidak dapat diartikan sebagai wanita mempelajari wanita, ada banyak hal yang membuatnya dapat dan harus dibedakan dari kerangka-kerangka penelitian yang mempelajari gender atau wanita dari sudut pandang non feminis. Jawabannya untuk hal ini yakni feminisme adalah perspektif wanita. Antropologi feminis menentang asumsi adanya perspektif atau sudut pandang wanita yang seragam, yang dianut oleh suatu kategori sosiologis ‘wanita’ yang dapat diidentifikasikan, karena hal itu tidak mungkin dan tidak akan memiliki makna analitis dalam kondisi-kondisi universal. Istilah ‘patriarki’ juga didekonstruksikan. Tidak berarti bahwa wanita itu ditindas oleh struktur-struktur patriarki, tetapi watak dan akibat dari struktur itu harus dispesifikan pada tiap-tiap tatanan, bukan diasumsikan.

Antropologi wanita’ selalu melihat perbedaan yang didasarkan pada gender. Konsep perbedaan budaya selalu memegang peran kunci dalam antropologi sosial karena pada basis perbedaan itulah, antropologi secara historis mengidentifikasikan subyeknya; ‘budaya-budaya lain’. Konsep perbedaan budaya telah menjadi landasan bagi perkembangan kritik etnosentrisme. Bentuk-bentuk perbedaan lain seperti ras, cenderung diperlakukan sebagai variasi, dan pengalaman ras juga mengubah pengalaman gender. ‘Antropologi wanita’ mencari penjelasan universal mengenai subordinasi wanita. Salah satu perhatian antropologi yang berkaitan dengan wanita adalah mendekonstruksikan kategori-kategori pemikiran antropologis, mengkaji asumsi-asumsi etnosentrisnya. Revisi yang diusulkan oleh ‘antropologi wanita’ adalah revisi internal pada budaya Barat, dengan demikian bersifat menyingkirkan. Jadi, dapat kita lihat bahwa ‘Antropologi Wanita’ itu bersifat menyingkirkan dalam dua hal:
  1. Antropologi wanita sesungguhnya menaruh perhatian pada revisi asumsi-asumsi kebudayaan Barat, dan diasumsikan berdasarkan kesalahan bahwa semua antropolog itu adalah orang Barat atau sama-sama mempunyai asumsi kebudayaan Barat. Tidak ada pertimbangan yang memberikan kemungkinan adanya antropolog memiliki cara-cara lain dalam memandang dunia.
  2. Antropologi wanita menetapkan satu diskursus mengenai wanita yang hanya dikonstruksikan dalam dialog dengan asumsi-asumsi budaya Barat. ‘Wanita lain’ tidak dapat mempengaruhi perdebatan kecuali pada istilah yang ditetapkan oleh mereka yang ditugaskan untuk menentukan agendanya.
Jadi pendapat di atas sebenarnya berbicara mengenai kompleksitas politik dan teoritis dari upaya untuk berbicara mengenai wanita. Antropologi Wanita hendak menentang hak laki-laki untuk berbicara untuk mereka, tetapi dalam prosesnya, mendapati dirinya secara tidak sadar berbicara untuk wanita lain. Inilah salah satu alasan mengapa sejumlah kritik mengatakan bahwa antropologi itu bersifat rasis, tidak sekedar etnosentris. Di masa lalu, antropologi feminis hanya memberi perhatian pada dua bentuk perbedaan, yakni:

1. Perbedaan gender
2. Perbedaan budaya

Namun sekarang ini antropologi feminis telah mengembangkan posisi-posisi teoritis yang berkesinambungan dan mengkhususkan hubungan antara perbedaan gender, perbedaan budaya, perbedaan kelas, dan perbedaan sejarah. Contohnya adalah yang diperlihatkan dalam debat-debat tentang penetrasi kapitalisme, dampak dari dominasi kolonial, dan perubahan hakikat keluarga. Hal yang khas dan diberikan oleh antropologi feminis adalah cara dimana ia memperlihatkan bahwa hubungan gender itu merupakan pusat bagi setiap analisis yang berkesinambungan mengenai kelas dan hubungan-hubungan historis. Kritik atas etnosentrisme berkaitan dengan pendapat-pendapat mengenai rasisme, karena teori etnosentrisme tidak menganggap perbedaan di antara budaya-budaya sebagai hal yang mutlak. Pikiran untuk mengungkapkan satu budaya melalui budaya lain yang menjadi inti dari usaha-usaha keras antropologi hanya dapat dicapai dengan mengatasi ketegangan inheren antara kesamaan dan perbedaan, sehingga akan berakibat menghancurkan perbedaan-perbedaan yang seharusnya tidak boleh dihancurkan ataupun disingkirkan.

Antropologi feminis memperlihatkan bahwa cara-cara bagaimana sistem kekerabatan yang ada, telah membentuk tanggapan negara kepada bentuk-bentuk keluarga dan rumah tangga. Bentuk-bentuk perbedaan dalam kehidupan sosial manusia seperti gender, kelas, ras, budaya sejarah, dsb selalu dialami, dibentuk, dan diwadahi dalam keterkaitannya antara satu sama lain. Menjadi seorang wanita kulit hitam berarti menjadi seorang wanita dan menjadi orang kulit hitam, tetapi pengalaman tentang bentuk-bentuk perbedaan ini berlangsung secara bersamaan, dan tidak berurutan atau mempunyai konsekuensi pada hal lain. Tugas antropologi feminis adalah menemukan cara-cara untuk membuat teori dari titik-titik temu yang sangat beragam di antara berbagai bentuk perbedaan. Penekanan pada perbedaan-perbedaan antar wanita tidak selalu mendekonstruksikan dasar politik feminis, perbedaan-perbedaan antar wanita itu penting, dan mereka harus diakui sebab satu kelompok wanita yang berbicara atas nama wanita lainnya itu tidak dapat menjadi bagian dari politik feminis. Hal terpenting yakni meskipun pengalaman-pengalaman, keadaan sekitar, dan kesulitan-kesulitan wanita memang saling tumpang tindih dengan wanita lain, tetapi mereka tidak isomorfis. Dapat diketahui bahwa sumbangan antropologi feminis kepada feminisme kontemporer hanyalah menunjukkan nilai perbandingan dan mengakui perbedaan.



Achmad Migy Pratama Wicaksono
Achmad Migy Pratama Wicaksono Saya seorang amatiran yang sotoy tapi baik

No comments for "Feminisme dan Antropologi : Asal-usul Hubungan Keduanya"